Lisboa, 2 Maret 2015, 16:18

Lima minggu sudah saya menghirup udara Lisbon. Tubuh ini pelan-pelan mulai menyesuaikan diri dengan iklim Portugal. Atau mungkin juga karena musim dingin sudah mulai berlalu. Suhu udara beberapa hari ini memang mulai bersahabat, tidak perlu lagi tidur dengan pakaian perang lengkap: kaos, celana panjang, sweater, jaket tebal, kaos kaki, sarung tangan, balaklava, selimut, bed cover, plus pemanas ruangan portable. Suhu udara sore ini tercatat 16 derajat celcius, dan 10 derajat celcius pada dini hari tadi. Pemanas udara memang masih perlu dinyalakan pada malam hari untuk menghangatkan ruangan, tapi kondisi ini sudah jauh lebih hangat dibanding minggu-minggu awal saya tiba di Lisbon. Saat itu suhu udara sempat drop ke angka 0,6 derajat pada pagi hari.

Hal yang paling menyiksa dari musim dingin ini, yang dikatakan oleh Pak Rui – land lord rumah yang saya tinggali, merupakan musim dingin terburuk yang pernah dia ingat, adalah rasa gatal di sekujur kaki karena alergi dingin. Kulit kaki ruam-ruam merah, kemudian ditambah rasa sakit pada kaki seperti ditusuk-tusuk puluhan jarum kecil, cemlekit kalau orang Jawa bilang. Pada pagi, di hari-hari di mana suhu sangat dingin, saya juga sering mengalami mimisan ringan. Sebagai tambahan, seminggu pertama, muka saya perih sekali, kering dan mengelupaskan kulitnya. Begitupun kulit tangan dan kaki, sungguh sangat menyiksa. Akibatnya, lotion pelembab menjadi teman baik sehari-hari untuk mengurangi perihnya iritasi kulit.

Pengalaman pertama kalinya menghadapi musim dingin ini akhirnya meruntuhkan segala puja-puji dan angan-angan saya akan indahnya musim dingin, khususnya di Eropa. Salah satu alasan saya memilih Eropa sebagai tempat study adalah adanya keinginan untuk mengalami hidup di negara dengan empat musim, dan keinginan melihat salju pada khususnya. Keinginan yang terakhir ini akhirnya menguap setelah beberapa minggu hidup di Lisbon. Tak terbayangkan bagaimana jadinya jika harus tinggal di daerah beku, di negara-negara dengan suhu udara musim dingin di bawah nol, seperti yang dialami teman-teman saya di belahan Eropa yang lebih ke utara semacam Jerman, Belanda, UK, atau US.

Kondisi tersebut semakin memperparah jet lag yang saya alami. Selama seminggu pertama di Lisbon, jam biologis saya masih mengikuti waktu Indonesia. Sebagai informasi, waktu Lisbon sama dengan GMT. Jadi jarak waktu antara Indonesia dan Lisbon adalah 7 jam. Ketika waktu Lisbon masih siang menginjak sore, rasa kantuk luar biasa sudah menyerang. Sedangkan pada tengah malam, sekali terbangun, akan susah diajak tidur lagi. Kondisi ini hilang saat menginjak minggu kedua. Waktu seminggu pula yang diperlukan untuk sembuh dari shocking culture, terutama rasa kangen luar biasa dengan suasana dan keluarga di Indonesia. Tak jarang saya mewek akibat rasa kangen yang luar biasa ini.

Untuk masalah makanan, Alhamdulillah tidak ada kendala berarti. Hal ini karena saya tinggal bersama 6 orang mahasiswa lain yang juga berasal dari MM UGM. Sehari-hari kami memasak sendiri. Alat-alat memasak di flat yang kami sewa cukup lengkap. Satu-satunya alat masak penting yang tidak kami miliki di rumah ini adalah rice cooker. Sempat kami mencari alat ini ke daerah pecinan Lisbon di kawasan Martim Moniz. Harga yang lumayan mahal (40 euro) menjadi alasan utama untuk tak membeli alat ini. Tambahan, rice cooker yang umum di sini hanya sebatas alat penanak nasi tanpa kemampuan untuk menghangatkan nasi. Akhirnya, sehari-harinya kami menanak nasi dengan menggunakan microwave.

Untuk harga makanan dan bahan mentahnya, Lisbon relatif lebih murah dibanding dengan negara-negara Eropa lainnya. Untuk harga susu misalnya, sangat murah (0,4 euro per liternya). Kami juga tidak mengalami kesulitan menemukan beras dengan harga yang sama dengan beras Indonesia, bahkan dengan harga yang lebih murah (0,4 euro). Beras memang menjadi salah satu makanan pokok orang Portugis. Untuk buah, relatif lebih murah dibanding dengan Indonesia. Hanya saja, harga sayuran dan ikan-ikanan menurut kami sangat mahal. Jarang sekali kami menemukan sayuran dengan harga di bawah 1 euro per kilogramnya.

Sesekali kami juga makan di luar, baik itu di cafetaria kampus maupun di tempat makan lainnya. Hanya saja, kami sangat selektif memilih tempat makan, mengingat babi (porco) adalah menu yang jamak ditemukan di hampir setiap restoran. Al hasil, restoran kebab, nasi biryani, dan chinese seafood adalah pilihan yang tersedia. Harganya pun relatif mahal untuk sekali makan. Jarang sekali ada menu makanan dengan harga di bawah 5 euro. Lain halnya jika makan di cafetaria kampus. Dengan harga menu paket 2,4 euro, saya sudah bisa menikmati menu lengkap dari appetaiser, main menu, dessert, dan segelas minuman jus orange atau teh. Tentunya dengan terlebih dahulu mencari tahu apakah menu cafetaria hari itu mengandung babi atau tidak dan pastinya dengan kebesaran hati menelan makanan yang hampir-hampir tawar.

Satu hal dari kebiasaan orang Portugis yang berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia adalah kebiasaan minum kopi yang sangat massive. Hampir semua orang portugis suka minum kopi. Penikmat kopi jauh lebih banyak dari pada peminum teh. Di mana-mana ada cafetaria untuk minum kopi. Vending machine kopi pun tersebar di hampir semua tempat mulai dari stasiun metro (kerata bawah tanah), kampus, sampai kompleks masjid Lisbon yang sering saya datangi. Kebiasaan teman-teman kuliah saat jam jeda adalah membeli kopi dari vending machine di depan kelas (harga termurahnya 30 cent untuk segelas kecil kopi), kemudian meminumnya sambil berdiri dan ngobrol dengan teman lainnya. Sebagian dari mereka juga minum kopi sambil merokok, baik itu mahasiswa maupun mahasiswi.

So, this is Europe coret. Wellcome Daris! Enjoy your dream!